Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia. Menjadi Pemerhati aspal Buton sejak 2005.
Cinta Suci Aspal Buton pada Pak Prabowo Bertepuk Sebelah Tangan?
Selasa, 24 Juni 2025 07:56 WIB
Cinta suci yang tidak dibalas ini bukan hanya sangat menyakitkan, ia juga menghancurkan harapan.
Aspal Buton pernah jatuh cinta. Cinta suci yang bukan sekadar kagum, tetapi sebuah keyakinan penuh bahwa Presiden Prabowo Subianto akan menjadi juru selamatnya. Sejak kampanye demi kampanye, saat Pak Prabowo selalu bicara soal nasionalisme, kemandirian dan kedaulatan ekonomi, dan perang terhadap kebijakan impor penjajahan gaya baru, hati aspal Buton berdebar kencang. Inilah pemimpin sejati yang akan peduli dan memperhatikannya, yang akan membangkitkannya dari tidur panjang.
Tetapi harapan besar itu kini pupus dan menggantung di langit yang semakin kelabu. Pak Prabowo kini sudah duduk di kursi singgasana presiden terpilih selama lebih sembilan bulan, namun suara hati aspal Buton tidak kunjung didengar. Aspal yang tersimpan di perut tanah Buton masih tetap terpendam dalam, menunggu terus diabaikan, menunggu dijawab, namun yang datang hanya hening, senyap, dan sunyi.
Betapa besar harapan aspal Buton kepada Pak Prabowo tidak terhingga. Ia tidak meminta dipuja, hanya ingin diberi tempat. Ia tidak ingin disanjung, hanya ingin dipercaya bahwa dirinya mampu menjadi pondasi negeri ini. Tetapi nyatanya, aspal impor masih terus menjadi pilihan utama, seolah Buton tidak pernah ada dalam peta republik ini.
Di setiap tetes bitumen yang mengalir dari tambang, ada doa dan keyakinan bahwa suatu hari nanti Indonesia pasti akan mampu membangun jalannya sendiri dari kekayaannya sendiri. Tetapi ketika Pak Prabowo lebih memilih mengimpor aspal dari luar negeri, maka cinta suci itu pun patah menjadi luka. Luka yang sangat dalam. Luka yang diam-diam terus menggerogoti iman kepercayaan.
Bukankah hilirisasi sumber daya alam itu adalah amanat konstitusi? Bukankah Pak Prabowo sendiri sudah berkali-kali menyuarakan pentingnya industri dalam negeri yang kuat? Mengapa justru sektor yang sudah paling siap ini, seperti aspal Buton, tidak pernah mau dijadikan contoh nyata hilirisasi nasional?
Cinta suci aspal Buton pada Pak Prabowo bukan tanpa alasan. Ia pasti tahu, Pak Prabowo punya kuasa untuk menghentikan mafia impor aspal. Ia pasti tahu, Pak Prabowo punya tekad untuk menciptakan swasembada aspal. Tetapi semua itu seperti bayangan di air: terlihat nyata, namun tidak pernah bisa disentuh.
Bertahun-tahun aspal Buton menyimpan sabar. Ia melihat bagaimana negara lain memanfaatkan sumber dayanya dengan penuh keberanian, sementara Indonesia justru ragu terhadap dirinya sendiri. Ada apa ini? Padahal potensi aspal Buton sudah dikaji, diuji, dan dibuktikan berkali-kali. Tetapi tetap saja, ia dianggap masih bukan prioritas.
Pak Prabowo mungkin sangat sibuk dengan urusan geopolitik, pertahanan, dan keamanan. Tetapi apa artinya kekuatan militer jika ekonomi dalam negeri sendiri digerogoti dari dalam? Apa gunanya senjata canggih jika aspal pun masih harus terus dibeli dari luar negeri? Bukankah cinta pada negeri seharusnya dimulai dari tanah sendiri?
Aspal Buton tidak menuntut istana. Ia hanya ingin diakui. Ia sekadar ingin diberi kepercayaan untuk menjadi bahan baku utama pembangunan. Ia ingin hilirisasi aspal Buton yang nyata, bukan sekadar jargon di baliho dan pidato. Ia ingin menjadi bagian dari kisah kejayaan Indonesia, bukan hanya catatan kaki dalam laporan Bappenas.
Tetapi cinta suci ini terus bertepuk sebelah tangan. Mengapa? Apakah ada yang salah? Suara Pak Prabowo soal aspal Buton nyaris tidak pernah terdengar. Bahkan di tengah gegap gempita pembangunan IKN, nama Buton pun tidak pernah kunjung disebut. Seolah negeri ini lebih percaya pada aspal asing ketimbang hasil bumi anak negeri sendiri.
Apakah Pak Prabowo takut menantang oligarki impor aspal? Apakah ia sudah terlalu jauh berlayar bersama para konglomerat yang senang pada bisnis jangka pendek? Apakah Pak Prabowo sudah lupa pada janji-janjinya sendiri, janji untuk menjadikan Indonesia berdiri di atas kaki sendiri?
Jika cinta suci aspal Buton terus diabaikan, maka Indonesia akan kehilangan peluang besar. Hilirisasi aspal Buton akan menjadi mitos, dan swasembada aspal hanya akan menjadi kisah indah yang tidak pernah diwujudkan. Dan lebih tragis lagi, rakyat Buton akan terus hidup dalam bayang-bayang pembangunan yang tidak pernah menyentuh mereka.
Cinta suci yang tidak dibalas ini bukan hanya sangat menyakitkan, ia juga menghancurkan harapan. Aspal Buton mulai meragukan: apakah Pak Prabowo benar-benar peduli, atau hanya sekadar retoris di depan panggung? Apakah Buton hanyalah sekadar catatan kecil dalam agenda besar nasional, atau sengaja disingkirkan diam-diam demi kepentingan yang jauh lebih besar?
Pak Prabowo masih punya sedikit waktu untuk menjawab cinta suci ini. Tetapi waktu tidak menunggu lama. Jika ia terus membiarkan aspal Buton terdiam, maka sejarah akan mencatat bahwa di masa pemerintahannya, cinta suci rakyat dan sumber daya lokal tidak pernah mendapat ruang.
Cinta suci aspal Buton pada Pak Prabowo tetap masih ada, meski sudah mulai sedikit tergerus waktu dan semakin memudar. Dan seperti semua cinta suci yang terus dikhianati, ia akan berubah menjadi dendam, amarah, atau mati pelan-pelan dalam diam. Dan saat itu tiba, Pak Prabowo harus berani menjawab jujur satu pertanyaan sederhana: mengapa ia tidak pernah mau menjawab cinta suci dari tanahnya sendiri?

Pemerhati Aspal Buton
6 Pengikut

Rahasia Algoritma Rezeki Allah Sungguh Indah
8 jam laluBaca Juga
Artikel Terpopuler